Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Literasi: Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Oleh Muhammad Subhan
HASIL akhir gerakan literasi sejatinya bukanlah sekadar kemampuan membaca buku, menulis, atau menghafal teori. Literasi yang benar-benar mengakar adalah literasi yang berbuah pada perubahan pola pikir dan perilaku hidup. Pada titik itu, literasi harus menjadi jalan terciptanya masyarakat yang terbebas dari belenggu pengangguran dan kemiskinan, baik kemiskinan materi maupun kemiskinan mental. Literasi adalah jembatan menuju martabat, sebuah proses pembelajaran sepanjang hayat yang melatih manusia untuk selalu mencari solusi, bukan sekadar menunggu diberi. Ilustrasinya, seorang tua yang tahu dirinya miskin, dan suatu hari pemerintah menyalurkan bantuan, namanya tercatat sebagai penerima, namun ia dengan halus menolak. “Maaf, saya memang miskin, tetapi saya masih bisa bekerja,” katanya. Sementara, orang tua itu seorang tukang ojek, atau bekerja memikul karung di pasar, atau menjadi buruh harian. Ia menolak disebut miskin. Ia menolak rumahnya ditempel stiker penerima bantuan PKH. Baginya, bantuan itu lebih layak diberikan kepada tetangganya yang jauh lebih membutuhkan.

Barangkali, di antara seribu orang ada satu atau dua orang yang berani bersikap demikian. Dan, itu langka. Pola pikir orang tua tersebut bukanlah sekadar soal harga diri, tetapi wujud nyata dari literasi yang hidup. Ia memahami makna apa yang disampaikan Nabi Muhammad Saw. 14 abad lampau: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Kesadaran itu lahir dari literasi spiritual, literasi kehidupan, yang membuatnya tahu bahwa martabat manusia ada pada usaha, bukan pada belas kasihan. Kisah itu menunjukkan bahwa literasi sejati menumbuhkan karakter manusia yang mau belajar, berusaha, dan tidak mudah menyerah pada keadaan.
Literasi mengajarkan seseorang untuk melihat dunia lebih luas, menimbang dengan hati, dan mengambil sikap dengan penuh kesadaran. Tidak salah, National Institute for Literacy mendefinisikan literasi sebagai kemampuan membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Definisi ini menegaskan bahwa literasi bukan hanya aktivitas membaca buku, melainkan menghadirkan masyarakat dengan keterampilan hidup yang konkret. Jika suatu daerah masih banyak pengangguran dan kemiskinan, itu pertanda bahwa literasi belum benar-benar sampai ke substansi. Gerakan literasi mungkin ramai, tetapi hanya sebatas seremoni—belum menyentuh inti perubahan pola pikir.
Literasi sejati adalah literasi yang menyelesaikan masalah: membuka jalan usaha, menumbuhkan kreativitas, dan menciptakan kemandirian. Dan, untuk memahami hubungan literasi dengan kesejahteraan, perlu menelisik dimensi kemiskinan. Ada tiga dimensi penting: kemiskinan ekonomi, kemiskinan sosial, dan kemiskinan kultural atau mental.
Kemiskinan ekonomi adalah kekurangan materi untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Kemiskinan sosial merupakan keterbatasan akses pada jaringan sosial, peran dalam masyarakat, dan rasa percaya diri. Orang miskin sering terpinggirkan, dianggap lemah, dan kehilangan suara. Sedangkan kemiskinan kultural atau mental disebut sebagai pola pikir pasrah, bergantung pada bantuan, enggan berusaha, dan merasa tidak mampu.
Dalam berbagai survei, indikator kemiskinan sering kali hanya dihitung dari pendapatan. Padahal, yang jauh lebih berbahaya adalah kemiskinan mental. Di sinilah literasi berperan: mengubah mindset dari “tangan di bawah” menjadi “tangan di atas.” Mengubahnya memang tidak mudah, tetapi itulah kerja utama dari literasi. Maka, literasi tidak tumbuh sendirian. Ia membutuhkan ekosistem literasi: sebuah tatanan sosial yang saling terhubung, mencakup individu, keluarga, sekolah, komunitas, media, dan pemerintah. Dalam ekosistem ini, membaca bukan sekadar hobi, tetapi bagian dari kebudayaan. Informasi bukan hanya dikonsumsi, tetapi juga diolah dan dimanfaatkan. Target jangka panjangnya adalah terciptanya budaya literasi. Budaya literasi lahir ketika masyarakat memiliki sikap cerdas, peka, jeli, berempati, dan terus belajar. Mereka bisa membaca lingkungannya, menganalisis masalah, dan menghadirkan solusi dalam bentuk nyata, baik berupa karya, tulisan, maupun aktivitas sosial. Budaya ini menjadikan literasi tidak berhenti pada aktivitas membaca buku, melainkan hidup di pasar, di ladang, di rumah, dan di ruang publik. Ketika seseorang terbiasa membaca, ia belajar berpikir kritis. Ketika terbiasa menulis, ia belajar menyusun gagasan. Ketika terbiasa berdiskusi, ia belajar mendengar. Dan ketika terbiasa membaca lingkungan, ia menemukan peluang usaha, celah pekerjaan, bahkan solusi dari masalah sehari-hari.
Seorang ibu rumah tangga yang rajin membaca tentang pengolahan makanan lokal, lalu mencoba usaha kecil-kecilan, ia menemukan solusi untuk menambah penghasilan keluarga. Pun seorang pemuda yang memanfaatkan literasi digital untuk menjual produk daerahnya ke pasar global, berpotensi tidak menjadi seorang pengangguran, meski tidak bekerja di sektor formal. Dalam berusaha itu, mereka mungkin tidak memiliki modal besar, tetapi dengan literasi, mereka punya modal pengetahuan. Maka, literasi berhubungan langsung dengan kesejahteraan. Masyarakat yang literat akan lebih mudah keluar dari jerat kemiskinan karena mereka tidak hanya menunggu, tetapi bergerak mencari jalan.
Bagaimana mewujudkan masyarakat yang literat agar sesuai harapan itu? Pemerintah harus memastikan pendidikan literasi tidak berhenti di sekolah, melainkan terus berlanjut dalam program masyarakat. Perlu pula membangun fasilitas literasi yang mudah diakses, seperti perpustakaan modern, taman bacaan, atau pusat literasi digital yang saling terhubung. Juga penting mengintegrasikan literasi dengan program pemberdayaan ekonomi sehingga literasi tidak hanya melahirkan pembaca, tetapi juga pelaku usaha yang kreatif. Pun, komunitas literasi memiliki peran penting. Mereka bisa menjadi penggerak di akar rumput dengan segala program-program kreatif dan inovatif. Hasil akhirnya, literasi harus dirasakan manfaatnya, bukan hanya dipamerkan sebagai simbol. Gerakan literasi akan kehilangan arah jika hanya berhenti pada slogan. Atau komunitas literasi hadir hanya untuk menunggu dan berharap bantuan. Literasi harus melahirkan kemandirian, memutus mata rantai kemiskinan, dan menumbuhkan kemuliaan.
Itulah tujuan akhir dari literasi: menjadikan manusia berdaulat atas dirinya, masyarakat berdaya menghadapi tantangan, dan tidak mudah menyerah pada sekuat apa pun badai yang mendera hidup dan kehidupannya.
No comments for "Memutus Mata Rantai Kemiskinan"
Post a Comment